Kamis, 16 Februari 2012

Shadaqoh Bukan Penyebab Kemiskinan


Tidak ada alasan bagi orang beriman untuk enggan bersedekah. Sebab, kendati terasakan berat, bersedekah merupakan ciri paling kentara dari keimanan yang kuat. Untuk bersedekah, seseorang harus mampu mengalahkan perasaan owel (rasa kepemilikan) karena mengikhlaskan sebagian rezekinya untuk pihak lain. Jika tidak karena adanya keyakinan yang mantap atau harapan keuntungan yang kekal di akhirat kelak, sungguh seseorang akan enggan bersedekah.

Berbeda dengan amalan lain sebagai ciri keimanan seperti shalat dan puasa. Pada kedua amalan yang lebih bersifat individual ini tidak perlu ada rasa bekorban kepemilikan, cukup dengan bekorban waktu selain kemauan. Untuk bersedekah ini sungguh terasakan lebih berat sehingga akan lebih jarang diamalkan dibandingkan dengan shalat dan puasa. Oleh karena itu, sekalipun seseorang sudah menjalankan shalat dan puasa tetap perlu dipertanyakan keimanan sahihnya jika yang bersangkutan masih tetap enggan bersedekah.
Dalam sejarah Islam kita kenal Fatimah Az-Zahra ra yang ikhlas bersedekah seuntai kalung warisan kepada musafir yang kehabisan bekal dan tiga hari tidak makan karena tidak ada lagi barang yang layak dijual. Dengan kalung tadi si musafir menjadi cukup bekal setelah menjualnya kepada Abdurrahman bin Auf ra.
Tetapi, begitu mengetahui keikhlasan Fatimah dalam bersedekah, segera Abdurrahman menghadiahkan kalung tadi kepada Nabi saw, ayahanda Fatimah, pemilik awalnya. Bisa ditebak, akhirnya kalung itu pun kembali ke tangan Fatimah setelah melewati tiga orang sebagai hadiah dan tercatat sebagai amalan sedekah.
Sungguh, bersedekah secara ikhlas akan mendapatkan ganti. Ini tidak saja ada dalam tarikh terdahulu. Dalam kehidupan nyata di lingkungan kita pun demikian halnya. Orang yang banyak bersedekah justru rezekinya melimpah, kehormatannya tinggi, dan harta kepemilikannya diakui bahkan dijaga keselamatannya oleh orang lain.
Agaknya belum pernah tercatat orang yang banyak bersedekah berakibat miskin. Sungguh dengan bersedekah kekayaannya bertambah, berlipat. Ibarat orang mendapat mangga, maka yang dimakan cukup dagingnya sedangkan bijinya harus disisihkan, ditanam hingga kelak akan menjadi pohon yang berlipat-lipat buahnya.
Untuk bersedekah, tidak ada ketentuan jenis barangnya (QS 2:267), tidak juga ditentukan jumlahnya (QS 3:134), tidak pula sasaran penggunaannya (QS 2:215). Artinya, benar-benar terserah sesuai kondisi orangnya. Itu jika bersedekah harta. Bagaimana jika kita kekurangan harta benda?
Hadis Nabi riwayat Bukhari-Muslim menyebutkan bahwa bisa juga bersedekah tanpa materi. Berzikir, berdakwah, mendamaikan perseteruan, berkata yang baik, membuang duri dari jalanan, membawakan beban orang lain, bahkan tersenyum pun bisa bermakna sedekah. Masihkah kita enggan bersedekah setelah kita mengaku beriman sahih? Wallahu a'lam bish shawab (sumber: republika.online.com)

Rabu, 15 Februari 2012

PESANTREN BUKAN PENGAMEN

"Mak ada tamu !!!", kata seorang bocah kepada ibunya
"siapa, nak ?", tanya sang ibu dengan heran
"nggak tahu tuh ada orang bawa map, pake peci lusuh, kemeja lusuh lagi nunggu di pintu", jawab sang anak
“ Tolong ditanya dong mau apa, ibu lagi nyuci pakaian, tanggung...!!”, ucap sang ibu
“nggak mau ah.., aku mau pergi bermain” jawab sang anak sambil berlari ke luar rumah menuju teman-temannya yang sudah menunggu di luar.
“uuh.... lagi naggung gini ada tamu, siapa sih...?.” sang ibu menggerutu, tapi tetap keluar kamar mandi menuju pintu depan. Ternyata apa yang tadi dikatakan anaknya memang benar, seorang bapak dengan kemeja panjang warna biru yang agak lusuh dengan sebuah map ditangan kirinya, peci hitam kemerah-merahan karna dimakan waktu.
“Assalamu’alaikum...” sapa pak tua
“Wa’alaikumussalam..., Bapak cari siapa ?” ujar sang ibu, se telah si bapak tadi dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu.
“begini, kami di pesantren sedang membangun asrama putra, barangkali ibu mau menitipkan sebagian hartanya untuk bekal kita di akhirat.”
“oooohh....”, gumam sang ibu dengan nada agak kesal, "kirain ada apa, kalo cuma yang mau minta sumbangan suruh si Ade aja tadi ngasihnya, ngak usah ninggalin cucian segala," gerutu sang Ibu didalam hati sambil masuk kamar dan kembali dengan membawa uang sepuluh ribuan dua lembar.
"maaf ya Pak!, cuma ini yang dapat saya berikan saat ini soalnya suami saya belum gajian", ujar sang ibu sambil menyodorkan uang kepada si Bapak tadi.
"Jazakumulloohu khoiron katsiron, terima kasih banyak, Bu !, semoga apa yang yang Ibu berikan menjadi amal shaleh dengan pahala yang berlipat ganda dunia akhirat, semoga Ibu sekeluarga diberi kesehatan, murah rejeki, jauh dari malapetaka, amiin, baiklah saya permisi dulu ya Bu, assalamu'alaikum....", ungkap si bapak.
Itulah sekelumitfenomena yang masih sering dijumpai dimasyarakat, salahkah hal seperti itu ?, tentu jawabannya tidak salah, seharusnya kita lebih jauh berfikir bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat besar peranannya dalam upaya pembinaan umat. Namun kurangnnya perhatian dari "pemerintah" maka banyak pesantren yang cukup keropotan mendanai operasional pesantren apalagi biaya pembangunan. Oleh sebab itu apalah daya, uluran tangan para dermawanlah yang masih bisa diharapkan meskipun harus menyingsingkan rasa malu.
Pesantren Al-Muawanah Parakansalak mulai menyadari bahwa dari hari kehari semakin sedikit orang yang menyadari arti pentingnya pendidikan pesantren, sehingga semakin sedikit orang yang peduli terhadap "pembangunan" pesantren.
Oleh sebab itu dengan memohon pertolongan Allah SWT, pesantren kami telah merintis sebuah usaha untuk penyelenggaraan pendidikan pesantren. (Abu Syakir, 2012)